Ketatnya Aturan Zonasi dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Mengancam Pendidikan Anak ke jenjang Selanjutnya

Ketatnya Aturan Zonasi dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Mengancam Pendidikan Anak ke jenjang Selanjutnya

Spread the love

Pasaman Barat,Suaraparalegal.Com

Ratusan anak-anak di Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) terancam kehilangan hak mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Ancaman ini muncul akibat ketatnya aturan zonasi dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) yang diberlakukan Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat. Sistem ini terbukti tidak mampu mengakomodir jumlah pendaftar dengan daya tampung sekolah yang tersedia di wilayah tersebut.

Penerimaan murid dilakukan secara daring melalui server provinsi. Seleksi untuk jalur domisili didasarkan pada sistem perangkingan nilai, dan jika terdapat nilai yang sama, maka pertimbangan berikutnya adalah jarak tempat tinggal ke sekolah. Namun, ketika sekolah dalam zona penuh, murid tidak bisa mendaftar ke sekolah lain karena terblokir oleh sistem, membuat ratusan anak bahkan dapat dikatakan ribuan anak terjebak tanpa pilihan.

Praktisi hukum Pasaman Barat, Adma Sadli, mengecam keras sistem ini. Ia menyebut kebijakan tersebut telah mengkhianati prinsip dasar dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan nilai-nilai luhur Pancasila.

“Ini sangat bertentangan dengan UUD 1945, terutama sila kedua hingga kelima. Di mana letak keadilan dan kemanusiaan jika ratusan anak bangsa tidak bisa melanjutkan pendidikan hanya karena sistem digital tanpa logika?” tegasnya.

Adma menyoroti ketidakadilan nyata di lapangan. Misalnya di Kecamatan Pasaman, SMAN 1 Pasaman sebagai sekolah utama dalam zona tersebut tidak mampu menampung semua pendaftar. Sementara ketika murid mencoba mendaftar ke sekolah lain, sistem server otomatis menolak karena di luar zona. Sementara SMA Istiqomah dan SMKN 1 Pasaman yang menjadi alternatif, juga telah penuh.

“Jadi ke mana anak-anak ini harus pergi? Apakah kita ingin melihat anak-anak berkeliaran di jalan hanya karena sistem zonasi? Apakah pendidikan harus diperlakukan layaknya kompetisi elit, bukan sebagai hak dasar rakyat?” kata Adma dengan nada getir.

Lebih lanjut, ia menyebut keputusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan sekolah negeri harus gratis kini terasa seperti ilusi belaka.

“Sekolah gratis itu hanya slogan. Buktinya, untuk masuk sekolah saja mereka kesulitan. Kalau sudah masuk pun harus ke swasta, dan itu mahal. Rakyat kecil jelas tidak mampu. Ini jelas bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi,” tegasnya.

Adma menggambarkan kondisi nyata masyarakat di Pasbar yang mayoritas hidup dalam keterbatasan ekonomi.

“Mereka bukan seperti pejabat berdasi yang membuat aturan di ruangan ber-AC. Mereka ini petani, nelayan, buruh, yang kerja dari pagi hingga malam demi sesuap nasi, bukan demi membayar uang sekolah anak di luar zona,” ujarnya

Ironisnya, kata Adma, semangat pemerataan pendidikan yang digembar-gemborkan pemerintah justru menjadi alat pemisah anak-anak dari pendidikan itu sendiri.

“Sistem zonasi yang kaku ini telah membunuh harapan anak-anak kita. Ini bukan pemerataan, tapi diskriminasi terselubung,” katanya.

Ia pun menegaskan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ini. Solusi yang paling masuk akal, menurutnya, adalah penambahan ruang kelas atau peningkatan daya tampung di sekolah-sekolah yang berada di zona padat.

“Kalau tidak bisa bangun sekolah baru, ya tambah lokal. Jangan biarkan anak-anak gagal sekolah hanya karena sistem tanpa nurani,” tandasnya.

Adma mendesak Pemprov Sumbar, khususnya Dinas Pendidikan, agar segera turun ke lapangan dan melihat langsung realita yang dihadapi masyarakat.

“Jangan hanya duduk manis di Padang. Lihat sendiri bagaimana wajah anak-anak yang kecewa karena ditolak sekolah. Lihat air mata ibu mereka yang tidak bisa bantu karena tak punya uang,” serunya.

Ia menutup pernyataannya dengan harapan agar pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat kecil.

“Pendidikan adalah hak setiap anak bangsa. Jangan biarkan sistem membunuh masa depan mereka. Jika negara hadir, hadirkan keadilan. Jika tidak, maka untuk apa kita punya negara?”

(Hakimi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *